Translate

Rabu, 20 November 2013

Peristiwanya sendiri tidak penting, yang penting adalah bagaimana kita merespon peristiwa tersebut

Suatu pagi di sebuah ruang kelas sebuah SD, dengan santai seorang guru bertanya pada murid-muridnya, ''Siapa yang sudah sarapan pagi ini?'' Kira-kira tiga per empat dari 40 murid mengacungkan tangan. Guru itu kaget sebab di luar dugaannya. Kemudian ia bertanya kepada anak-anak yang tidak mengacungkan tangan, ''Mengapa kalian tidak sarapan?'' Sebagian menjawab tak sempat karena sudah terlambat. Sebagian lagi mengatakan belum merasa lapar, ataupun tak menyukai sarapan yang disajikan. Semua memberikan jawaban senada kecuali satu anak. ''Karena,'' jawabnya, ''Sekarang bukan giliran saya.''
''Bukan giliranmu?'' tanya sang guru. ''Apa maksudmu?''
''Dalam keluarga kami ada empat anak,'' ujarnya, ''Tapi, ayah tak punya cukup uang untuk membeli makanan supaya tiap orang bisa sarapan setiap hari. Kami harus bergiliran, dan hari ini bukan giliran saya.''

Bagaimana respon Anda setelah membaca cerita di atas? Biasa saja? Meneteskan air mata? Iba? Atau hanya bilang, “Ah, itukan hanya cerita. Tak perlu dipusingkan, yang penting saya tidak mengalaminya.” Terus terang, pertama kali saya membaca cerita itu, tak sadar merembes air mata saya. Cengeng, yah..mungkin ? Tapi, ada dua hal yang mengiringi perasaan saya waktu itu. Pertama rasa iba – trenyuh – kasihan terhadap nasib anak tersebut. Alangkah malangnya jika memang benar ada. Dan ternyata memang ada, walau entah dimana, bahkan di sekitar kita barangkali. Dan kedua rasa syukur, bahwa saya termasuk orang yang diberi nikmat Allah yang cukup, tidak mengalami hal itu. Hanya mendengar dan membaca saja. Tapi apakah yang akan kita perbuat dengan diri ini sebagai respon hal semacam itu? Cukupkah hanya dengan iba atau tetesan air mata? Ini yang lebih penting, sebelum semua terjadi dan terulang kembali, bahkan menimpa kita sendiri.

Cerita ini setidaknya bisa menjadi parameter awal sejauh mana kepekaan dan kepedulian hati kita terhadap lingkungan sekitar. Demikian juga dengan selaksa peristiwa yang sudah kita lalui di sepanjang tahun 2009 ini. Sudahkah itu menjadi bagian dari proses pengasahan kepekaan dan kepedulian hati kita, menjadi hati yang berkualitas? Mengetuk hati kita? Membuka hati kita untuk menjabarkan keimanan dalam bentuk kepedulian dan cinta - kasih yang nyata?

Salah satu cara praktis untuk mengembangkan kepekaan dan kepedulian adalah dengan menyadari akan penderitaan. Orang bilang, ada hikmah dibalik setiap mushibah atau penderitaan. Tidak cukup hanya dengan istirja dan doa saja. Sadar akan penderitaan -- entah itu penderitaan kita sendiri atau penderitaan orang lain -- akan membuat hati kita melunak dan terbuka. Dengan adanya energi kesadaran yang keluar dari hati, maka ada energi unggulan yang masuk yaitu benih – benih kepekaan dan kepedulian.

Kepekaan dan kepedulian adalah buah dari cinta. Ia cerminan samudra luas hati nurani. Orang – orang yang bisa mencintai diri sendiri, kemudian orang – orang terdekatnya akan mempunyai kepekaan dan kepedulian yang baik terhadap sekitarnya. Bagi yang belum sadar, mulailah perhatikan sekeliling dengan seksama. Bukankah orang tua Anda adalah orang yang rela mengorbankan hidupnya bagi Anda? Bukankah pasangan Anda adalah orang yang telah memilih menyerahkan hidupnya kepada Anda? Bukankah anak-anak Anda sangat mengagumi Anda dan merindukan kebersamaan dengan Anda? Bukankah pembantu Anda adalah orang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani Anda? Teruslah perluas dengan mengamati orang-orang di sekitar Anda. Mereka semua memiliki penderitaan dan tantangan masing-masing. Namun mereka begitu perhatian dan sayang terhadap Anda. Setelah banyak menerima, kenapa begitu sulit untuk berbagi? Begitu banyak yang kita dapatkan, kenapa masih merasa segan untuk memberi?

(dikutip dari situs resmi LDII - http://www.ldii.or.id/in/nasehat-mainmenu-37/388-refleksi-akhir-tahun-membuka-hati.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar